(Opini) TPQ cemburu Pesantren tidak berbadan hukum mendapat izin operasional. Regulasi mengatur pendaftaran keberadaan pesantren (Perdirjen no 511 tahun 2021) serta SK Dirjen Pendis no 91 tahun 2020 tentang petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan al-Qur’an.
pontren.com – assalaamu’alaikum mas bro dik sist, dengan banjirnya bantuan BOP lembaga pendidikan Islam (TPQ, Madin Ponpes) mendadak banyak lembaga yang beramai ramai untuk mendapatkan piagam tanda daftar untuk lembaganya.
Tentunya piagam ini adalah produk hukum Kementerian Agama sebagai payung lembaga dalam menjalankan aktivitas kegiatan belajar mengajar. Dan hal utama mengenai piagam ini adalah syarat untuk mendapatkan dan mencairkan bantuan pemerintah.
Singkatnya no piagam = no pencairan
Ya kira kira bahasa lugasnya seperti itu, kalau bahasa malu malunya adalah sebagai warga negara yang baik hendak mendaftarkan lembaga supaya mengikuti regulasi yang ada.
Kenyataannya para pengelola emis juga ada yang tertawa apabila ada banyak bantuan, maka periode berikutnya akan banyak lembaga mengurus ijop. Gak percaya? Tanya saja kepada operator Kabupaten atau kota.
Aturan TPQ dan Pondok Pesantren berbadan Hukum
Kembali lagi mengenai ijop TPQ dan Pesantren, memiliki kesamaan dan perbedaan.
Salah satunya yaitu berkenaan dengan kewajiban badan hukum.
Untuk pesantren, ada celah bagi penyelenggara perorangan untuk mendapatkan izin operasional.
Bentuknya PSP Piagam Statistik Pesantren dan NSP (Nomor Statistik Pesantren) meski mengajukan tanpa badan hukum.
Hal ini sah dan legal karena ada dalam panduan juknis pendaftaran keberadaan pesantren.
Apesnya, untuk lembaga Taman Pendidikan Al-Qur’an beserta wadyabala (lembaga serumpun) tidak mendapatkan perlakuan serupa.
Maksudnya bagaimana?
Pada ketentuan Juklak penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an lembaga harus berada dibawah organisasi lembaga yang berbadan hukum.
Titik bukan koma, alias tidak ada pengecualian, jadi mau tidak mau, ikhlas tidak iklas jika TPQ hendak mendaftarkan untuk mendapat nomor statistik dan SK Penetapan tanda daftar LPQ.
Nah, meskipun pada bagian tertentu ada kewajiban pengelola pesantren berada dibawah yayasan lembaga berbadan hukum namun untuk pesantren yang didirikan perorangan tidak perlu berbadan hukum.
Beda dengan TPQ, mau pengelolanya yayasan kek, perorangan kek, bapak erte erwe kek, tidak peduli meskipun siapa tetap harus berada dibawah organisasi atau lembaga dengan badan hukum
Alasan TPQ cemburu pada Pondok (Pesantren)
tpq cemburu pesantren tidak berbadan hukum. Kenapa bisa cemburu?
Banyak alasan
Yang pertama, kebanyakan memang TPQ banyak yang tidak berbadan hukum, karena ada syarat ini saja kemudian dengan gontai mengurusnya.
Kedua, mengurus yayasan atau kelompok berbadan hukum itu ada biayanya, tidak gratis, ratusan ribusampai jutaan rupiah perlu keluar dana dari kas TPQ. Padahal menurut saya kebanyakan TPQ dana kasnya bokek alias nirdana.
Ketiga, masa izin pondok pesantren berlaku selamanya, selama tidak menyalahi aturan dan masih aktif. Sedangkan untuk Taman Pendidikan Al-Qur’an setiap 5 tahun harus melakukan daftar ulang kembali ke Kemenag.
Keempat, pesantren merupakan lembaga besar, bisa memiliki ribuan santri untuk satu pondok.
Jarang ada suatu Taman pendidikan Al-Qur’an mempunyai ribuan anak didik, biasanya paling pada kisaran ratusan.
Jika lembaga yang lebih banyak siswanya saja bisa melengang tanpa harus ada badan hukumnya (dalam hal ini pesantren yang didirikan perorangan).
Kenapa TPQ yang sifatnya lebih rileks (pendidikan nonformal harus punya?
Kelima, ijazah pondok pesantren banyak yang laku untuk melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pengakuan secara negara, bahkan pesantren satuan pendidikan muadalah dan PDF bisa untuk mendaftarkan polisi.
Coba untuk apa ijazah TPQ, apakah bisa untuk mendaftar Polisi? Mau tertawa takut kena sawat sandal.
Keenam, lembaga pendidikan Al-Qur’an merupakan pendidikan nonformal, bahkan adapula yang hidup hanya pada waktu bulan ramadhan, bingung mencari sukarelawan guru yang rajin untuk mengajar.
Sedangkan Pondok Pesantren biasanya sudah mempunyai pengajar yang tetap, bahkan masuk kategori pendidikan formal semisal PDF maupun Muadalah.
Ketujuh, entah seberapa sedikit, lazimnya yang mengajar Pondok Pesantren mendapat uang transport dari pengelola.
Kalau TPQ?
Boro boro ada, bahkan lebih mengenaskan malah gurunya nombokin biaya guna mengikuti lomba atau peralatan kantor untuk kegiatan belajar mengajar.
Berdoa supaya regulasi Berbadan Hukum TPQ seperti Ketentuan Ponpes
Ya sebenarnya supaya para pengelola ini berkurang cemburunya dan tidak merasa dikerjain dengan keberadaan regulasi, bisa ada ketentuan sebagaimana pesantren.
Maksudnya? Harus mukim gitu para siswanya?
Ya enggaklah, dalam hal ini yang seperti pesantren yaitu untuk lembaga Taman Pendidikan Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh perorangan tidak harus memiliki SK Kemenkumham.
Kasian juga, nombokin biaya untuk KBM, eh masih mikir biaya notaris, apa enggak kasian?
Memang benar ada TPQ yang kuat dananya, seperti pada kota Besar Jakarta, Surabaya, Karanganyar, Medan dan kota yang lainnya.
Akan tetapi berapa persen TPQ yang mapan secara pendanaan?
Kalau mau survey beneran pasti mayoritas adalah lembaga yang memprihatinkan secara fasilitas dan miskin dana. Lugasnya seperti itu.
Wah nanti mereka demo dong aturannya lebih berat dari pesantren dalam mendaftarkan ke kemenag?
Ah saya mayakini tidak mungkin demo.
Paling hanya mengeluh pada media sosial atau antipati dengan regulasi serta manjadi apatis dengan yang membuat regulasi.
Nah itulah obrolan dengan seseorang yang menjadi operator emis, merasa kasihan dengan lembaga.
Sayangnya tidak berkutik untuk melayani dan menolong karena terbentur dengan keberadaan aturannya seperti itu.
tapi saya jadi khawatir, ingat pepatah susah melihat orang senang, senang melihat orang susah, malah nanti kejadian bukan TPQ perorangan bisa tanpa badan hukum.
Tapi malah penyelenggara perorangan Pesantren juga berubah menjadi harus berbadan hukum, lak yo tambah sengsoro wkakakwkakkk.
Salam kenal, selamat siang, wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.