Mendirikan TPQ Tanpa Mendaftarkan ke Kemenag, Dampak Pengaruhnya?

TPQ harus berbadan hukum

pontren.com – assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu, sudah lama saya tidak menulis artikel tentang Taman Pendidikan Al-Qur’an maupun lembaga sejenis.

Bukan apa-apa, namun karena bahannya saja yang sepertinya sudah habis. Nyaris apa yang bisa saya tulis sudah saya tuangkan di blog ini berkenaan dengan LPQ dan rumpunnya.

Saat membuka beranda blog, ada sebuah pertanyaan yang menanyakan tentang membuat TPQ tanpa ada pengakuan dari Kemenag.

Adapun bunyi pertanyaan ini singkat saja, namun untuk menjawabnya perlu mempelajari banyak aturan dan ketentuan.

Berikut pertanyaannya;

apakah jika kita mendirikan sebuah TPQ tanpa di akui kemenag apakah itu baik-baik saja?

saya menangkap maksud dari penanya adalah apa dampak lembaga pendidikan al-Qur’an khususnya TPQ yang eksis namun pengelolanya tidak mengajukan tanda daftar serta nomor statistik.

Kira kira seperti itulah kalimat untuk bertanya apabila menanyakan secara teknis kepada pengelola ijop TPQ di Kemenag.

Untuk ketentuan mengurus ijop pengakuan dari Kemenag ada dalam SK Dirjen yaitu di Kepdirjen Pendis no 2769 th 2022 tentang Penerbitan Tanda Daftar LPQ

Saya mencoba menguraikan hal ini semampu saya.

TPQ diakui eksis oleh Kemenag dengan SK Penetapan, Piagam Tanda daftar dan Nomor Statistik

Fakta pertama berkenaan dengan hal ini. Bentuk pengakuan dari Kemenag tentang eksistensi lembaga TPQ adalah berupa tanda daftar dan nomor statistik alias NSLPQ (Nomor Statistik Lembaga Pendidikan Al-Qur’an).

Untuk NSTPQ (nomor Statistik Taman Pendidikan Al-Qur’an) namanya adalah NSLPQ. Karena TPQ atau TPA merupakan bagian dari rumpun LPQ.

Dalam SK Keterangan tanda daftar ada bagian yang menyebutkan lembaganya berupa TPQ.

Nomor statistik dan piagam tanda daftar beserta SK merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Trinitasnya tanda daftar lembaga pendidikan Al-Qur’an dari Kemenag.

Siapakah yang harus atau seharusnya mengajukan diri untuk mendapatkan SK Tanda daftar beserta piagam dan nomor statistik ini? Bagaimana ketentuannya?

Tentu yang harus mengajukan adalah pengelola lembaga, bisa yayasan ataupun pengurusnya.

Adapun yang seharusnya memiliki nomor statistik NSLPQ yaitu lembaga TPQ yang sudah mencapai ketentuan tertentu.

Secara gari besar singkatnya lembaga TPQ yang sudah memiliki santri sebanyak 15 murid dan minimal 3 orang guru semestinya mengajukan surat tanda daftar ini.

Perihal ketentuan keharusan mendaftarkan ini mengacu kepada pada PMA nomor 13 tahun 2014 bagian ketiga tentang pendidikan diniyah non formal pasal 45 ayat (3).

Bunyi dari ketentuan ini adalah;

Pendidikan diniyah nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapatkan izin dari Kantor Kementerian Agama kabupaten atau kota.

PMA no 13 th 2014 Pasal 45 ayat (3)

Bentuk izin dari Kankemenag berupa SK Penetapan, Piagam tanda daftar beserta nomor statistik.

Lebih detil lagi mengenai ketentuan ini yaitu dalam PMA yang sama serta pasal yang sama yaitu pasal 45 ayat (4) menyebutkan;

Pendidikan diniyah nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memiliki peserta didik paling sedikit 15 (lima belas) orang harus mendaftarkan ke Kantor Kementerian Agama kabupaten / kota.

ayat (4)

Jadi itulah landasan atau pijakan tentang kewajiban atau keharusan mendapatkan ijop dari Kemenag dengan syarat dan batasan siapa saja yang kena aturan ini.

Bagaimana sanksi apabila lembaga tidak mengajukan diri? Dalam PMA ini saya belum menemukan atau tidak menemukan dampak atau hukuman pengecualian bahwa lembaga tidak mendapatkan layanan dari Kemenag.

Mendirikan TPQ tanpa mendaftarkan ke Kemenag tidak bisa mengajukan bantuan dari Pemerintah

izin operasional pondok pesantren

Akibat nyata apabila tidak mendapatkan pengakuan dari Kemenag, selain tidak mendapatkan layanan juga tidak bisa mengajukan lembaga untuk mendapatkan bantuan dari Pemerintah khususnya Kementerian Agama.

Jadi salah satu syarat mutlak mengajukan bantuan lembaga atau turunannya yaitu intensif, beasiswa guru TPQ adalah nomor statistik serta piagam terdaftar dan SK Penetapan.

Apabila ada pengumuman bantuan, maka lembaga yang tidak memiliki nomor statistik otomatis tidak dapat mengajukan diri.

Apakalah lembaga yang mempunyai kelengkapan administrasi pengakuan dari Kemenag pasti mendapatkan bantuan?

Tidak semudah itu ferguso.

Jadi perlu anda cermati. Dalam kepemilikan pengakuan dari Kemenag ini sifatnya “menurut saya” adalah hak untuk mengajukan.

Ilustrasinya seperti ijazah yang sesuai untuk mendaftarkan CPNS atau Pegawai Negeri.

Gambarannya adalah jika anda mempunyai ijazah yang sesuai untuk mendaftarkan diri dalam lowongan CPNS atau Pegawai Negeri, maka anda bisa mengajukan diri untuk pendaftaran ini.

Apakah pasti anda diterima menjadi pegawai? Tentu tidak ada jaminan, ada banyak saingan yang mendaftar.

Gambarannya seperti itu.

Jadi bantuan yang ada tidak sebanding banyaknya dengan jumlah TPQ yang ada di Indonesia. Yang namanya hak, anda bisa juga tidak menggunakannya.

Contohnya adalah, anda mempunyai ijazah yang sesuai untuk mendaftarkan PNS, namun anda enggan mendftarkan diri maka tidak ada yang melarang anda untuk tidak mengajukan pendaftaran.

Sama halnya dengan bantuan, jika anda tidak mau mengurus pengajuan bantuan, maka juga tidak mengapa.

Pasal Omnibus Law UU Cipta Kerja mengancam penjara Pengelola Pendidikan Nonformal (Termasuk TPQ?)

ijop tpq

Perihal omnibus Law UU Cipta kerja ini saya juga belum begitu ngeh. Apakah memang sudah berlaku, ada revisi, penundaan ketentuan, dibatalkan atau seperti apa posisinya saat ini.

Jadi memang perlu kecermatan untuk menganalisa dampaknya terhadap pengelola Lembaga TPQ yang tidak mendapatk pengakuan dari Kementerian Agama.

Ada banyak bantahan yang mengatakan bahwa tujuan UU Cipta Kerja ini untuk menstimulus penciptaan kerja, bukan memenjarakan guru ustadz ustadzah yang mengajar ataupun menyelenggarakan pendidikan nonformal.

Lebih lanjut ada yang menyebutkan bahwa aturan ini hanya berlaku pada daerah ekonomi tertentu.

Meski begitu, perlu kewaspadaan dari para ahli yang mendukung lembaga pendidikan Islam tentang perkembangan dari ketentuan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja ini.

Salah satunya adalah bantahan datang dari situs resmi kominfo, namun sayangnya tidak memberikan penjelasan yang detil atau setidaknya memadai tentang ketentuan ini.

Hanya memberikan keterangan yang mendukung bahwa berita yang beredar dianggap diskomunikasi miskomunikasi mispemahaman.

Adapun bantahan dari kominfo berbunyi;

Beredar sebuah narasi yang menyebutkan nasib pesantren bakal terancam dengan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) Omnibus Law.

Pesantren yang tidak memiliki izin terancam sanksi pidana.
Faktanya, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Teddy Anggoro menilai UU Cipta Kerja bertujuan untuk menstimulus penciptaan kerja.

Sehingga UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) yang dimaksud diubah melalui RUU Cipta kerja untuk tujuan penciptaan pekerjaan, bukan mempidana seperti kabar yang banyak beredar di tengah masyarakat.

Seperti apakah bunyi pasal atau draft dalam ketentuan ini?

Berikut petikan yang bisa saya ambil dan dapat anda cermati dan nilai sendiri ketentuan dan aturannya.

Di dalam Pasal 62 RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal dan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Selanjutnya dalam Pasal 71 mengatur bahwa penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin, bisa dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Bantahan Kemenag tentang Omnibus Law mengancam Eksistensi Pesantren

Untuk lembaga pesantren, sudah ada bantahan dari Kemenag langsung dari Menteri Agama kala itu Fachrul Razi. Yang jabatannya sudah dicopot dan kemudian diganti dengan Yaqut Cholil Qoumas.

Dalam bantahannya ini Fachrul Razi yang merupakan Menag kala itu menyampaikan bahwa bahwa keberadaan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang kini tengah dibahas antara pemerintah dengan DPR tidak akan mengancam eksistensi pesantren.

“Pemerintah punya UU tersendiri yang mengatur pesantren. Sehingga, penyelenggaraan pesantren merujuk pada UU 18 Tahun 2019 tentang Pesantren,” begitu ujar Menag kala itu.

Lebih lanjut Mantan Menag ini kala itu mengatakan “UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga hal ini berlaku kaidah lex specialis derogat legi generali. Yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum,”

Jadi yang disampaikan oleh Menteri Agama kala itu hanya berkenaan dengan pondok pesantren.

Bagaimana dengan guru TPQ ustadz ustadzah Madrasah Diniyah Takmiliyah yang masuk kategori dalam lembaga pendidikan nonformal?

Saat ini saya belum mendapatkan jawaban yang memadai bagaimana posisi lembaga pendidikan Islam nonformal berkenaan dengan perizinan mengacu kepada katentuan dalam Pasal UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini.

Demikianlah sekedar opini mengenai dampak mendirikan TPQ tanpa mendaftarkan ke Kemenag untuk mendapatkan ijop atau izin operasional Lembaga, nomor statistik, piagam tanda daftar SK Penetapan dari berbagai sumber yang bisa saya dapatkan.

Apabila ada opini, sanggahan, ralat informasi, jangan sungkan untuk menuliskan pada kolom komentar. Maturnuwun sudah mampir, wilujeng enjang dan wassalamu’alaikum.

Tinggalkan Balasan

Ibnu Singorejo

Postingan baru : Kami usahakan Jadwal hari Senin dan Jumat akan ada tambahan postingan artikel baru. Terima kasih sudah menyimak. saran dan kritik serta sumbangan artikel kami tunggu. contact info : cspontren@yahoo.com twitter : PontrenDotCom FB : Gadung Giri