Asssalaamu’alaikum pakde bude, wilujeng dalu selamat malam, ini merupakan kisah yang diceritakan oleh teman saya yang bernama Bu Yosi tentang suaminya yang bernama Arif yang bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri.
Kisah ini bermula dari seringnya seorang siswa MTs yang kala itu duduk di Kelas 1 bolak balik ke warung jajan yang diperkirakan menghabiskan lebih banyak uang jika dibandingkan dengan teman sebayanya.
Sebut saja anak tersebut bernama Tofa hasil cinta dari pasangan Mukhlis dengan Wiwik yang keduanya sama sama bekerja di Instansi pemerintah, dan usut punya usut ternyata bapaknya si Tofa alias pak Mukhlis dahulu kala pernah satu ruangan dengan suami bu Yosy yang (bernama Arif), tepatnya pada bagian UP Kemenag.
Bisa dikatakan dahulu teman semasa dalam kondisi yang masih memelas yaitu dimasa dimana belum ada uang Lauk Pauk ataupun tunjangan kinerja, dimasa dimana pegawai Kemenag masih dipandang sebagai PNS kelas dua dibandingkan dengan instansi yang lain, (Padahal waktu itu juga sama gajinya).
Masa masa dimana sepeda motor honda prima merupakan kendaraan mewah (kala itu, bukan waktu sekarang), atau disaat honda grand merupakan kendaraan paling prestise yang dimiliki oleh segelintir pejabat.
Dan kisah lebih mengundang trenyuh mengenai seragam yang selen (tidak sama) meskipun sama sama warna biru atau keki. Koq bisa? Iya bisa karena celananya masih bagus maka hanya menjahitkan baju sehingga tidak senada seirama warnanya meskipun sama sama keki.
Atau kisah dimana guru MI dianggap sebelah mata oleh orang orang sebelah, disebut sebagai sekolahan daripada ora sekolah, bangunan yang alakadarnya, dan lain sebagainya. Intine jaman keprihatinan.
Alhamdulillah saat ini kendaraan roda dua alias motor biasa didalam rumah bukan hanya satu saja meskipun honda supra, prima, yamaha Mio, honda beat maupun merk dan jenis lainnya.
Kepemilikan kendaraan roda empat sudah merupakan hal yang biasa, baik itu model kendaraan keluarga seperti avanza silver, atau model sedan contohnya toyota Great Corolla.
Masa prihatin sudah dirasakan dan (semoga) sudah lewat, sekarang saatnya mikir anak, kira kira begitu.
Oh iya, lanjut lagi kisahnya tentang si Tofa, karena mengetahui bahwa anaknya melanjutkan pendidikan pada jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama yaitu MTs Negeri dimana rekannya dahulu menjabat sebagai Kepala Tata Usaha.
Pak mukhlis meling (berpesan) kepada sang anak yang bernama Tofa ini dalam bahasa Jawa yang kira kira seperti ini,” Le, ojo ngisin-isinke bapak, nang kono ono pakde Arif, jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kira kira seperti ini” Nk, jangan mempermalukan ayahmu, disana ada Pakde Arif).
Dan dasarnya si anak yang bernama Tofa ini grapyak (mudah bergaul dan akrab dengan orang lain), meskipun tidak kenal akrab sebelumnya dengan pak Arif yang berprofesi sebagai KTU ini, jika berpapasan atau bersua baik disekolah maupun dijalan tidak memanggil dengan “Pak Guru, ataupun Pak Arip, tetep saja dia manggil dengan, Pakde.
Jadi kalau lewat bersimpangan di koridor MTs atau jalan depan Madrasah maka si Tofa akan menyapa dengan ”monggo pakde.” Atau setidaknya seperti itulah menurut riwayat dari Bu Yosy.
Si Tofa ini selain ceria dan memiliki postur seperti bapaknya dan model kulit bagai ibunya (alhamdulillah tidak kebalik) sehingga mudah diingat dan dihafal, apalagi memanggil pak KTU dengan sebutan Pakde.
Saking akrabnya, apabila ndelalah bapak atau ibunya terlambat menjemput, maka dengan sigap si Tofa mendatangi kaji Arif dan minta tolong seraya berujar, “Pakde, tulung telpun bapakku, kadose kesupen njemput”.
Dengan segera pak KTU meraih telfon dan memanggil kawannya semasa di UP mengingatkan untuk menjemput hasil perbuatannya.
Pada suatu masa, karena seringnya sliwar sliwer keluar masuk warung untuk jajan, saat berpapasan dengan si Tofa, Kaji Arif Menegur sang anak. Kira kira begini tegurannya,
”Heh, jojan jajan wae, tak kandakne pakmu lho! (eh, jajan jajan terus, nanti tak adukan ke ayah kamu lho!)
Biasanya anak dahulu seumuran Kaji Arif dan (Calon) Kaji Mukhlis akan jerih jika diancam diadukan kepada ayahnya. Akan tetapi ternyata si Tofa memiliki jawaban unik yang tak diduga oleh Kaji Arif.
Jawaban si Tofa seperti ini,”Mboten nopo nopo mang kandakne pakde, lha niki sik maringi duwit nggih bapak koq.” 😀
Artinya begini,” ya tidak apa apa pakde adukan saya kepada ayah saya, lha uang ini yang memberi juga bapak koq”.
Dah, begitu saja ceritanya, Kaji Arip pakai baju putih, cukup sekian dan terima kasih. Teriring doa semoga menjadi putra yang soleh dan dapat membuat bangga ayah dan ibunya.
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.