Adab dan doa berkaitan dengan azan dan iqomah serta keterangan yang diperlukanuntuk pembelajaran TPQ.
pontren.com Teks doa sesudah azan serta iqamah dalam huruf arab dan latin beserta terjemahan.
Tidak hanya materi hafalan serta terjemahan saja, tetapi beberapa hal yang selayaknya diketahui anak anak santri Taman Kanak Kanak Alquran (TKQ) dan Taman Pendidikan Alquran (TPQ) yang harapan kedepan menjadi akhlak dan budaya para santri.
Sasaran Materi Doa Sesudah Azan dan Iqamah
Materi ini menyasar supaya anak anak hafal doa sekaligus terjemah doa sesudah azan dan iqamah.
kemudian santri TPQ TKQ paham sunnah sunnah pada saat mendengar adzan. Sembari santri diajari hafalan doa serta arti, diterangkan apa saja anjuran pada waktu mendengar azan.
Setelah santri mendapatkan keterangan seputar adzan dan iqomah, hal yang diperlukan yaitu para pengajar TPQ memberikan dorongan kepada santri untuk praktek secara teratur dan menjadi kebiasaan sepanjang hayat.
Bacaan Doa Sesudah Adzan dan Setelah Iqomah dalam Bahasa Arab
Berikut teks doa ba’da azan dan iqamah yang masyhur
Doa setelah adzan
اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ،
وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ،
آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ،
وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ،
إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
Allahumma robba haadzihidda’watittaammah
Wassholaatil qooimah
Aatii muhammadanil washiilati wal fadhiilah
Wab’atshu maqooman mahmuudanilladzii wa ‘adtah
Innaka laa tukhliful mii’aad
arti
Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini
dan shalat (wajib) yang didirikan.
Berilah Al-Wasilah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam) dan fadhilah kepada Muhammad.
Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji”.
Doa Setelah Iqomah
اَقَامَهَااللهُ وَاَدَامَهَا مَادَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلاَرْضُ
Aqoomahallaahu wa adaamahaa maadaamatis samaawaatu wal ardlu
Arti :Semoga Allah selalu menegakkan dan mengekalkan adanya shalat selama langit dan bumi masih ada.”
Adab Seputar Adzan dan Iqomah
Berikut ada beberapa hal terkait dengan adzan iqomah yang bisa dilakukan seorang muslim.
Mengucapkan yang diucapkan oleh muadzin
mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin (menjawab adzan), tapi tidak dengan suara keras seperti suara orang yang adzan, karena muadzin memanggil orang lain sedangkan dia hanya menjawab muadzin.
Catatan :
Termasuk mengucapkan hal yang sama juga pada adzan subuh yaitu assholaatu khoirum minan naum.
Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat:
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ،
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat:
لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Namun boleh juga dia menjawabnya sebagaimana lafadz muadzin dengan hay’alatani حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ dengan hujjah hadits Abu Sa’id Al-Khudri z yang telah kita sebutkan di atas. Al-Imam Ibnul Mundzir t menyatakan, “Ini termasuk ikhtilaf atau perbedaan yang mubah.
Jika seseorang menghendaki maka ia mengucapkan sebagaimana ucapan muadzin, dan kalau mau ia mengucapkan sebagaimana dalam riwayat Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan1 c. Yang mana saja ia ucapkan, maka ia benar.” (Al-Ausath, 4/30)
Hukum Menjawab Adzan
Tentang hukum menjawab adzan ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian Hanafiyyah, ahlu zahir, Ibnu Wahb, dan yang lainnya berpendapat wajib menjawab adzan bagi yang mendengar adzan, dengan mengambil lahiriah hadits yang datang dengan lafadz perintah, sedangkan perintah menunjukkan wajib. Adapun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, tidak wajib, dengan dalil hadits Anas bin Malik z yang menyebutkan bahwasanya:
سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: عَلَى الْفِطْرَةِ. ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خَرَجْتَ مِنَ الناَّرِ
(Rasulullah n) pernah mendengar seseorang yang adzan mengatakan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Rasulullah menjawab, “Dia di atas fithrah.” Kemudian muadzin itu berkata, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah. Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Rasulullah berkata, “Engkau keluar dari neraka.” (HR. Muslim no. 845)
Dalam hadits di atas, Rasulullah n mengucapkan ucapan yang berbeda dengan muadzin, berarti mengikuti ucapan muadzin tidaklah wajib.
Hukum Berbicara Di Sela-Sela Menjawab Adzan
Tidak ada larangan berbicara di sela-sela menjawab adzan, namun lebih utama ia diam mendengarkan dan menjawabnya. Beda halnya bila ia sedang membaca Al-Qur’an, ia tidak boleh menjawab adzan di sela-sela bacaannya sehingga tercampur antara suatu zikir yang bukan bagian dari Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Yang semestinya, ia menghentikan bacaan Al-Qur’annya untuk menjawab adzan. (Fatwa Asy-Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman t, seorang alim dari negeri Najd, Ad-Durarus Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah 4/213, 214).
Dalil lainnya adalah ucapan Nabi n kepada Malik ibnul Huwairits dan para rekan :
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
arti : Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan untuk kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
Nabi tidak mengatakan, “Hendaklah orang lain yang mendengarnya mengikuti adzan tersebut.” Seandainya menjawab adzan itu wajib niscaya Nabi n tidak akan menunda keterangannya dari waktu yang dibutuhkan. Karena, ketika itu beliau tengah memberikan pengajaran kepada Malik dan teman-temannya. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 2/195, Asy-Syarhul Mumti’, 2/82,83)
Al-Imam al-Malik t dalam Kitab Al-Muwaththa’ (no. 236), meriwayatkan bahwa Tsa’labah ibnu Abi Malik Al-Qurazhi menyatakan mereka dulunya di zaman ‘Umar bin Khaththab mengerjakan shalat pada hari Jum’at hingga Umar keluar dari rumahnya masuk ke masjid. Bila Umar telah masuk masjid dan duduk di atas mimbar, muadzin pun mengumandangkan adzan. Kata Tsa’labah, “Kami duduk sambil berbincang-bincang.
Ketika muadzin telah selesai dari adzannya dan Umar berdiri untuk berkhutbah, kami pun diam mendengarkan. Tak ada seorang dari kami yang berbicara.”
Seandainya menjawab adzan itu wajib niscaya mereka akan mengikuti ucapan muadzin dan tidak berbicara yang lain.
Demikian juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d t, dari Musa ibnu Thalhah ibnu Ubaidullah, ia berkata, “Aku melihat Utsman ibnu Affan berbincang-bincang dengan orang-orang menanyakan dan meminta informasi dari mereka tentang harga dan berita-berita lainnya, padahal ketika itu muadzin sedang menyerukan adzan.” (Sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, Ats-Tsamar 1/180)
Pendapat jumhur inilah yang kami pilih, wallahu ta’ala a‘lam. Akan tetapi yang perlu kita camkan walaupun hukumnya sunnah bukan berarti ketika diserukan adzan –tanpa ada kepentingan ataupun hajat– kemudian ditinggalkan begitu saja dan tidak diamalkan dari menjawabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, wallahul musta’an. (Syarhu Ma’anil Atsar 1/188-189, Al-Muhalla 2/184, Bada’iush Shana’i 1/486, Subulus Salam 2/62, Nailul Authar 1/511)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Sunnah menjawab adzan ini berlaku bagi orang yang di atas thaharah, bagi yang berhadats, orang junub, wanita haid, dan selain mereka, selama tidak ada penghalang untuk menjawabnya, seperti sedang menunaikan hajat di WC, sedang berhubungan intim dengan istrinya, atau sedang mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj 4/309 dan Al-Majmu’ 3/125)
Mendengar adzan ketika sedang membaca alquran
Tidak dibolehkan menjadikan satu antara membaca Al-Qur’an dengan menjawab adzan. Alasannya adalah jika membaca Al-Qur’an, akan terlalaikan dari mendengar adzan. Sebaliknya bila mengikuti ucapannya muadzin, kita terlalaikan dari membaca Al-Qur’an. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/196,197)
Menjawab Adzan Bagi Seseorang Yang Sedang Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam Al-Ikhtiyarat (hal. 39) berpendapat, untuk seorang yang sedang melaksanakan shalat, pada saat mendengar adzan untuk menjawab. Hal ini karena keumuman perintah yang ada di dalam hadits. Juga, menjawab adzan muadzin termasuk zikir yang tidak bertentangan dengan shalat.
Akan tetapi pendapat yang masyhur dalam madzhab Al-Imam Ahmad dan yang lain adalah ia tidak menjawab adzan yang didengarnya. Inilah pendapat yang shahih. Alasannya yaitu adzan merupakan zikir panjang yang dapat membuat orang yang shalat tersibukkan dari shalatnya. Sementara dalam shalat ada kesibukan tersendiri, sebagaimana sabda Rasulullah :
إِنَّ فيِ الصَّلاَةِ لَشُغُلاً
Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan. (HR. Al-Bukhari no. 1199 dan Muslim no. 1201)
Terdengar Beberapa Adzan Dari Beberapa Masjid
Bagaimana jika terdengar adzan dari beberapa masjid? adzan manakah yang kita jawab?
Hadits dalam masalah menjawab adzan menyebutkan secara mutlak, “Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” Tidak ada pembatasan muadzin yang pertama atau muadzin yang kesekian, atau muadzin di masjid yang dekat dengan rumah kalian. Artinya semua adzan dijawab.
Hukum Berbicara Di Sela-Sela Menjawab Adzan
Tidak ada larangan berbicara di sela-sela menjawab adzan, namun lebih utama ia diam mendengarkan dan menjawabnya. Hal ini berbeda bila ia sedang membaca Al-Qur’an, ia tidak boleh menjawab adzan di sela-sela bacaannya sehingga tercampur antara suatu zikir yang bukan bagian dari Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Yang semestinya, ia menghentikan bacaan Al-Qur’annya untuk menjawab adzan. (Fatwa Asy-Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman ,
Kedua: Perkara berikutnya yang disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan adalah bila selesai menjawab adzan adalah bershalawat untuk Nabi n dengan dalil hadits Abdullah ibnu Amr ibnul Ash c. Ia pernah mendengar Nabi n bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِي الْوَسِيْلَةَ، فَإِنهَّاَ مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ وَأَرْجُوْا أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku, karena siapa yang bershalawat untukku niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian ia meminta kepada Allah al-wasilah atasku, karena al-wasilah ini merupakan sebuah tempat/kedudukan di surga, di mana tidak pantas tempat tersebut dimiliki kecuali untuk seseorang dari hamba Allah dan aku berharap, akulah orangnya. Siapa yang memintakan al-wasilah untukku maka ia pasti beroleh syafaat.” (HR. Muslim no. 847)
Ada beberapa lafadz shalawat, di antaranya yang paling ringkas adalah:
اللُّهَمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Berilah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Sebagaimana Engkau bershalawat dan memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”
Ketiga: Setelah bershalawat, orang yang mendengar adzan memohon al-wasilah untuk Nabi n dengan dalil hadits Abdullah ibnu Amr ibnul Ash c. Adapun doa memohon al-wasilah sebagaimana dalam hadits Jabir z, bahwa Nabi n bersabda:
مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللُّهَمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ؛ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan doa, “Ya Allah! Wahai Rabbnya seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan ditegakkan ini, berikanlah kepada Muhammad al-wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah beliau pada tempat yang dipuji (maqam mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya4”, niscaya ia pasti akan beroleh syafaatku pada hari kiamat. (HR. Al-Bukhari no. 614, 4719)
Itulah hal terkait dengan doa azan dan iqamah.