Kisah santri dipaksa masuk pesantren

Cerita ini didapatkan dari salah seorang alumni pondok pesantren yang sebut saja namanya Uvika, yang dipaksa masuk ke pondok pesantren yang memiliki nama cukup tenar di Jawa Timur.

pontren.com – assalamu’alaikum, Bisa dikatakan sebagai sekolah internasional, akan tetapi bukanlah pondok pesantren darus salam gontor, tepatnya Pondok Pesantren ** tetooot cencored **.

Beliau menggambarkan diri sebagai seorang anak yang secara teknis tidak badung, akan tetapi pada saat di rumah sang anak ini (ketika itu berumur 11-12 tahun atau kelas 6 SD) jauh dari mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak mencuci, tidak memasak, tidak menyapu apalagi ngepel rumah.

malu tidak setor data EMIS

Cerita awal mula pilihan masuk pondok atau sekolah SMP

Pada awalnya tidak terlintas sekalipun untuk melanjutkan ke pondok pesantren. Singkatnya tidak ingin mondok, dengan pertimbangan tidak pernah pisah dengan orang tua, lebih tepatnya kepada ibu karena hampir tidak pernah sehari pun berpisah dengan ibunda.

Pada saat itu keinginannya adalah sekolah SMP di dekat rumah. Ibunya juga mengajar di SMP tersebut. Dan SMP itu termasuk SMP yang favorit.

Akhirnya sang ayah mengatakan’” Kamu boleh tidak masuk ke pesantren asal masuk sekolah ke situ.” Mendengar itu Uvika menjadi semangat banget dan belajar banget (begitulah kalimatnya 😉  ) supaya bisa menghindari pendidikan ke pondok pesantren.

Kemudian diterimalah dia di SMP yang dituju. Akan tetapi akhirnya ayahnya mengatakan ”Silakan masuk sekolah kesitu tapi kamu biayain pendidikanmu sendiri” hahaha betapa bikin gondok tuh kalimat. Mendengar perkataan sang ayah akhirnya Uvika terdiam dan sempat marah kepada kedua orang tuanya.

Ya sudahlah mereka mendaftarkan Uvika ke pondok pesantren. Pada waktu pendaftaran Uvika menangis terus sampai sampai sang penguji menanyakan’” Kenapa menangis dik? Di pesantren itu enak dan sebagainya”. Uvika tetap menangis karena bentuk protes kepada orang tua.

Pada Akhirnya diumumkan Uvika diterima menjadi santri pondok pesantren. Ada dampak lain diluar diri sendiri yaitu komentar tetangga kepada orang tuanya dan yang mengenal uvika.

Hal ini terkait posisi Uvika sebagai anak guru SMP yang mana seharusnya mendapat “jatah kursi” di SMP yang bagus di wilayah itu. Akan tetapi kenapa Uvika di masukkan ke pondok pesantren? Akhirnya semua orang memandang uvika terlalu bodoh sehingga di pondokkan. dan Uvika mengatakan kepada saya

” TOLONG DI TULISKAN YA BAHWASANYA ORANG YANG MASUK PESANTREN ITU DI STIGMA KALAU DIA TIDAK DITERIMA DI NEGERI ATAU DI TERIMA DI SWASTA YANG TERKENAL DAN BAIK MAKANYA AKHIRNYA DIA DIMASUKKAN KE PESANTREN, PADAHAL ITU ENGGAK, BIAYA MASUK PESANTREN ITU JAUH LEBIH BESAR KETIMBANG BIAYA MASUK KE SEKOLAH NEGERI YANG AKU MASUK KEMAREN”

Saat Awal Masuk Pondok Pesantren

Selanjutnya Uvita MOS di pondok pesantren selama 1 minggu dan libur sebulan, selanjutnya masuk lagi ke pesantren. Pada waktu seminggu ini Uvika benar benar menangis banget, merasa dibuang orang tua di taruh di pondok pesantren.

Karena dia anak pertama dan adiknya masih kecil belum sekolah. Padahal adiknya tidak ada wacana ke pesantren sehingga Uvika merasa diperlakukan secara tidak adil. Satu bulan pertama di pesantren Uvika selalu menangis. Akan tetapi setelah 3 bulan menjadi biasa saja bisa adaptasi dengan suasana hati dan suasana pesantren.

Menurut Uvika, Anak yang masuk pesantren dan keluarganya tidak ada basic pesantren cenderung menempatkan diri sebagai korban ketidakadilan keluarga. Hal ini diketahui karena uvika juga bertanya kepada teman teman yang mengalami hal yang sama.

Dan akan berpikiran sama seperti dia. Kesannya?

Banyak orang ,mengatakan bahwa pesantren itu kumuh, kalau salah kamu dihukum, terus kamu akan disuruh nyuci, ngepel. Sedangkan dirumah Uvita tidak pernah namanya nyapu ngepel nyuci dan yang lain sebelum masuk pesantren. Sehingga mendengar itu Uvika menjadi tidak suka.

Dalam gambaran dia, kegiatan yang positif dan baik dianggap dia sebagai suatu hal yang buruk pada saat itu. Sampai pada waktu 4 bulan uvika masih menganggap buruk suasana di pesantren.

Seperti bangun jam 3 untuk sholat malam, selain itu dipaksa tidur jam setengah sepuluh. Padahal uvika terbiasa setidurnya tidak diatur atur kapan harus tidur.

Pengalaman kehidupan di Asrama pondok pesantren

Ternyata menurut Uvika di pesantren itu tidak di paksa untuk mengepel atau pekerjaan yang lain. Namun Dia masuk program khusus yang di taruh di mojokerto, merupakan program pertama sehingga belum ada gedung. Dikontrakkan sebuah rumah pemukiman penduduk.

Bagi dia adalah hal yang sangat seru karena belum ada guru nya. Karena disewakan rumah maka di tempatkan pengawas para santri. Rumah yang disewa adalah rumah yang benar benar baru belum ditempati sehingga para santri mencuci sendiri, menyapu, mengepel, termasuk memberihkan taman karena kesadaran untuk kenyamanan ditempati bersama.

Uvika menjadi kaget dan bilang kepada ibu nya karena pada awalnya tidak ada perjanjian ngepel nyapu dan sebagainya. Karena pada awalnya uvika tidak mau masuk pesantren karena tidak mau melakukan hal hal tersebut.

Dan dijawab oleh orang tuanya. “ Enggak kok, kamu enggak melakukan hal itu, tugasmu Cuma belajar 😀 (duh kasian kena jebakan betmen).

Dan nyatanya dia tetap harus nyuci ngepel dan nyapu serta membersihkan taman. Dengan berjalanan waktu Uvika merasakan kesenangan tersendiri menjalani rutinitas kegiatan bersih bersih tersebut, tentunya juga dengan kegiatan yang lain.

Kesan yang dia dapat adalah menyenangkan, seru, dan banyak hal yang tidak disangka. Yaitu yang awalnya dirumah dengan 20 anak dan pengasuh 1 dan dekat hutan sehingga kadang terjadi anak kemasukan alias kerasukan. Jadi harus menangani semuanya sendiri apalagi jika mendadak pengasuh ada acara diluar.

Perasaan Setelah Lulus dari Pondok pesantren

Merasa bersyukur karena disekolahkan di pesantren karena menyadari dirinya nakal dan suka mengikuti pergaulan jaman sekarang.

Dia berasumsi jika tidak di pondokkan di pesantren maka kehidupannya barangkali akan sangat berantakan. entahlah saya belum sempat bertanya kepada nya apakah sesekali dia merasa kangen dengan suasana di pondok pesantren.

Selain itu memang di pesantren semuanya harus mandiri karena kalau tidak mandiri dan kurang rapi menempatkan barang barang, bisa bisa kehilangan banyak barang.

Pengalaman di pesantren yang masih teringat misalnya sering tidur dikelas, pernah kehilangan sandal, pakaian, uang, dan peralatan belajar.

 Sekilas Nara sumber

Nara sumber menggambarkan bahwa pada dasarnya dia sendiri masih merasa belum layak untuk memberi masukan ataupun memberi saran kepada santri atau orang tua bahkan kepada para pengasuh pondok pesantren.

Akan tetapi Uvika merasa bersyukur telah dimasukkan ke pondok pesantren.

Dengan melakukan komparasi imajiner jika dia sekolah di luar pondok pesantren bisa jadi dia akan menjadi orang yang lebih tidak terkendali dibandingkan jika dia dimasukkan ke pesantren.

Walaupun dengan catatan bahwa dia saat ini masih merasa banyak melakukan perbaikan dan menjauhi perbuatan yang kurang pantas, akan tetapi efek dari pondok pesantren memberikan dia rem rem dan batasan batasan yang lebih terkendali.

baca :

Disarikan dari obrolan dengan uvika akhirnya saya sedikit menuliskan hal hal seperti dibawah ini.

Untuk menyingkat kata yang berputar putar akhirnya saya pilih kata kata saran sebagai berikut menyadur kalimat dari nara sumber :

Saran Buat Para santri yang merasa di Paksa Masuk Pesantren

Kalau bisa anak anak itu paham ketika anak di pondok itu bukan berarti dia tidak dibuang.

Jangan skeptif dan prasangka buruk anak yang dimasukkan pesantren adalah anak yang dibuang. Pada awalnya Uvika berpikiran bahwa orang tuanya membuang dia pada waktu itu.

Dan pada akhirnya Uvika menyadari bahwa ibunya sakit perut gara gara kangen kepada anaknya. Keputusan orang tua untuk memondokkan anaknya itu bukan keputusan yang gampang diambil.

Itu karena kewajiban meluruskan amanah dari sang pencipta agar anaknya supaya setidaknya anak di usia usia tertentu di pondokkan. Hal ini untuk diketahui karena banyaknya santri yang merasa dibuang oleh orang tuanya. Sehingga perlu adanya edukasi bahwa orang tuanya sangat berat meninggalkan anaknya di pesantren.

Ada yang sampai sakit, Hal ini diketahui oleh uvika setelah lulus dari pesantren bahwasanya ibunya awal awal masuk pesantren tiap malam tidak bisa tidur dan menangis terus serta hanya makan tahu tempe, padahal ibunya suka makanan daging ataupun telur.

Akan tetapi tetap memaksa untuk makan tahu tempe karena tau ibunya tau anaknya hanya makan tahu tempe. Sedangkan makan berdaging pada hari tertentu yaitu jumat sabtu dan minggu. Sehingga ibunya berusaha menyamakan situasi dengan anaknya.

Selanjutnya masuk ke pondok pesantren tidaklah memakan biaya yang sedikit. Dan menurut Uvika memakan biaya yang sangat banyak (pada tahun 2008 SPP nya adalah Rp. 850.000,-) .

Uvika menambahkan bahwa dibuang itu tidak pada tempat yang berbiaya besar. Akan tetapi dibuang adalah ditempatkan dilokasi yang tidak memerlukan biaya. Menurut dia seperti itu. Kesimpulannya adalah karena ke pondok pesantren memerlukan biaya besar maka anak tersebut tidaklah dibuang. Akan tetapi untuk dididik dengan benar.

Saran untuk orang tua dan pengasuh pondok pesantren

santri manis dan ramel

Menurut dia, anak itu harus dipaksa karena menjadi baik itu harus dipaksa. Kalau anak yang badung dimasukkan ke pesantren?

Bagi dia ya harus, Kemungkinan orang tuanya sudah bingung mau bagaimana lagi karena badungnya sang anak sehingga bagaimana lagi caranya menghadapi si anak.

Saran Uvika kepada orang tua yang memiliki anak “kreatif” adalah sebaiknya orang tuanya komunikasi secara baik dengan pengasuh pondok pesantren terutama wali kelas, pembina asrama dan pembimbing kamar.

Supaya guru dan pihak pesantren mengetahui dan bisa mengambil langkah bagaimana cara treat si anak atau tindakan yang paling pas terhadap anak. Menurut Uvika, Anak pesantren yang dimasukkan ke pondok pesantren semakin nakal karena orang tua nya tidak memberitahukan kepada guru atau tidak ada komunikasi wali santri dengan pengasuh bahwasanya si anak pernah mengalami atau nakal seperti ini dan itu.

Dan mengatakan tolong di bimbing dan yang lainnya. Sehingga pengasuh pondok pesantren menyamaratakan sang anak dengan anak lain yang badung nya normal.

Menurut Uvita hal itu tidak bisa Karena semuanya tidak bisa disamakan. Satu anak bisa berbeda penanganannya.

Selain itu adanya perkumpulan orang tua dengan ustad pesantren untuk melihat, mencari dan melakukan penyelesaian masalah dan hambatan anak anak serta pesantren dalam kegiatan KBM dan kepesantrenan.

Serta mengetahui program program pesantren. Dia mencontohkan, basic uvika yang sekolah dasar, jarang mengaji, tidak pernah jauh dari orang tua, tidak bisa makan hanya dengan tahu tempe, disitu bisa jadi dia memberontak jika tidak ada treatmen khusus.

Harusnya dikasih pengertian sehingga pembentukan organisasi orang tua penting guna orang tua menyampaikan kondisi anak kepada pengasuh.

Diperlukan seseorang yang melakukan identifikasi masalah anak guna menemukan akar permasalahan kenapa sampai ada santri yang sering melakukan pelanggaran, bisa jadi karena kurang perhatian, sehingga penanganannya dilakukan dengan trearment yang cocok bagi anak yang butuh diperhatikan.

Misalnya anak sering pulang malam, perlu di identifikasi apakah anak itu sering pulang malam karena kurang kasih sayang atau salah dalam pemilihan teman.

Semoga ada hikmah baik dipetik dari kisah diatas. (berdasarkan kisah nyata penuturan dari nara sumber dengan sedikit ubahan kalimat untuk penyesuaian tanpa mengubah isi dan maksudnya), akhirnya terima kasih sudah membaca, salam kenal dan wassalamu’alaikum.

Ibnu Singorejo

Postingan baru : Kami usahakan Jadwal hari Senin dan Jumat akan ada tambahan postingan artikel baru. Terima kasih sudah menyimak. saran dan kritik serta sumbangan artikel kami tunggu. contact info : cspontren@yahoo.com twitter : PontrenDotCom FB : Gadung Giri

Tinggalkan Balasan

This Post Has 3 Comments

  1. Hani

    Assalamualaikum

    Hari ini Minggu tanggal 18 Desember 2022, Syifa anak pertama saya kembali masuk ke pondok setelah libur semester dua minggu di rumah.

    Dua tahun setengah sudah mondok di ponpes daerah Gintung Balaraja, dikira setelah libur dan masuk kembali ke pondok sudah tidak minta Gotri ( sampe SMP ), ternyata hari ini masih merajuk minta SMA diluar. Padahal sy mau Syifa itu goni ( sampe SMA ) biar ilmu agama dan umum maksimal kalo enam tahun.

    Cari artikel maksa anak dipondok itu baik, Alhamdulillah ketemu blogger ini jadi yang tadinya merasa bersalah agak sedikit berkurang demi kebaikan anak dunia akhirat.

    Karena saya ga mungkin bisa jd madrasah yg baik karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sebagainya dikarenakan saya sudah berpisah dengan ayahnya yang tidak bertanggung jawab lahir batin baik jasmani dan rohani.

    Doakan semoga Allah ridho, hati Syifa dilembutkan dan saya dimudahkan untuk bisa dan kuat mendidik dua anak perempuan dijaman yang penuh dengan tantangan, sesuai syariat dan hakikat Islam. Begitu juga untuk anak kedua, semoga Allah mudahkan untuk belajar ilmu agama dan umum di pondok.

    Terimakasih sudah menginspirasi, wassalamu’alaikum

    1. Ibnu Singorejo

      wa’alaikum salaam, amiin, semoga hati Syifa dilembutkan dan njenengan mendapat kemudahan untuk bisa dan kuat mendidik dua anak perempuan dijaman yang penuh dengan tantangan, sesuai syariat dan hakikat Islam. Begitu juga untuk anak kedua, semoga Allah mudahkan untuk belajar ilmu agama dan umum di pondok.