Cerpen Orang Dengan Gangguan Praktek Keagamaan (ODGPK)

kurikulum-TPQ-seingatnya

Topo Loro
Do’a untuk Dicky

Saya sudah lama kenal Mbah Warso. Orangtua nyentrik yang tinggal di pojok kampung kami. Dulu, sebelum ditetapkan jadi Orang Dengan Gangguan Praktek Keagamaan (ODGPK) beliau adalah marbot musholla kami. Musholla kecil hadiah dari pengembang setelah seluruh rumah di kompleks kami, Perumahan Dyfa Mentaya, laku hanya dalam hitungan jam. Pak Hadriansyah, lulusan salah satu kampus kelas II di Sampit itu, sampai menitikkan air mata bahagia.

Perihal penetapan beliau sebagai ODGPK, semula berawal dari kebiasaan beliau yang tiba-tiba sakit atau pingsan. Pernah suatu ketika beliau pingsan waktu Jadi imam Sholat Shubuh. Rakaat ke dua. Waktu itu beliau baru mulai membaca surat Munafikun. Baru dapat beberapa ayat. Celakanya, ketika beliau semaput, saya yang berdiri persis di belakang beliau. Jadilah terpaksa saya yang maju menggantikan beliau. Saya nggak hafal surat yang beliau baca. Jadi, saya lanjutkan pakai Qulhu saja. Pendek, bernas dan disukai umat. Setelah selesai Sholat, kami sama-sama mengerumuni beliau. Yang langsung tersadar dan bersenyum. Sambil mengeluarkan rokok lintingan dari saku beliau, beliau menjawab pertanyaan yang belum kami ajukan. “Aku ora Popo; Alllahumma Sholli ‘ala Muhammad…”

Setalah kejadian itu, sering sekali beliau melakukan hal-hal aneh ketika jadi imam sholat. Kadang pingsan, kadang tiba tiba tidur lama. Kadang menangis panjang sekali, kadang sholat sambil mengabsen jamaah satu persatu dan menyebutkan sisa umur kami. @⁨Kn Tri Bimo Soewarno⁩, umurmu tinggal 10 tahun. @⁨Ui Laili arif j⁩, umurmu sisa 6 tahun lagi. @⁨mzainulabidin⁩, kamu nanti akan beristri dua dan kamu berani. Nggak kaya @⁨Kn Fahmi Hamzah R⁩, pingin 4 tapi nggak berani. @⁨Kn Asad Mahmud⁩, bobotmu kalo sudah sampai 90 Kilo, kamu akan punya murid yang hafal Qur’an sebanyak 24 orang. Dan nama jamaah lainnya beliau absen.

Selain keanehan yang sudah saya sebut tadi, juga ada keanehan-keanehan lainnya. Sewaktu saya tanya beliau, jawaban beliau selalu sama. “Jika sudah sampai waktunya, saya akan jelaskan nanti, tapi di mimpimu ya…” ujar beliau sambil menyedot rokok lintingan yang selalu ada di saku beliau. Soal rokok lintingan ini pun juga membuat kami bingung. Seakan-akan rokok beliau tidak pernah habis. Kapanpun dan di manapun beliau menginginkannya, selalu ada di saku kiri beliau. Waktu saya tanyakan tentang rokok lintingan itu, beliau malah bercanda. Beliau baca ayat di surat Al-Baqarah yang menyebutkan ketika kita di surga diberikan rizki berupa tsamarat, maka kita akan rasan-rasan, lha, ini kan dulu sudah pernah kita rasakan di dunia, ya salah satunya rokok ini.

Sejak saat itulah kemudian saya, sebagai ketua takmir musholla memutuskan beliau sebagai ODGPK, dengan persekutuan dari jamaah dan juga atas ijin beliau. Jadilah sejak saat itu beliau berhenti jadi imam Musholla. Dan beliau menyampaikan terimakasih kepada saya. Dengan begitu, beliau lebih bebas beribadah. Saya hanya mengiyakan saja.

Ahir Ahir ini, tingkah laku keagamaan Mbah Warso semakin membingungkan kami. Jika beliau ikut jamaah sholat dan tiba tiba pingsan, besoknya akan ada warga saya yang sakit jadi sembuh. Atau ada warga yang diterima kerja. Atau ada yang lamarannya diterima. Atau ada yang istrinya isi setelah 5 tahun menikah. Begitulah, kami sekampung mulai senang kalo mbah Warso sudah pingsan. Pasti selalu ada berita gembira. Ahir-ahir ini kami malah meyakini, Kim Jong Un nggak jadi mati, karena Mbah Warso pingsan dalam sujud sholat shubuhnya sampai dengan sholat Maghrib hari berikutnya.

Tapi sejak merebaknya virus Corona di kabupaten kami, Mbah Warso jarang pingsan. Setelah kami sering sholat di rumah masing masing, saya dengar bahwa beliau membuat rumah hujan. Di tengah lahan kosong di sebelah kuburan Cina belakang kompleks kami. Di sanalah beliau bersembahyang. Saya beberapa kali berusaha menemui beliau. Tapi, selalu saja beliau sedang tidur. Padahal, kata tetangga yang lain, beliau sholat terus-menerus tanpa putus.

Sebulan yang lalu, warga kompleks kami dihebohkan dengan hilangnya Dicky, anak tetangga saya, ibu Lub yang masih berusia 3.5 tahun. Waktu si Dicky ikut papanya sholat jama’ah di rumah, ketika sedang sujud, tiba tiba ia menghilang. Tidak ada bekas. Tidak ada sisa tubuhnya. Bu @⁨Kn Lublub⁩ dan keluarga panik. Lalu kami cari beramai-ramai. Kami aduk-aduk seluruh kompleks. Kami telusuri seluruh gang, seluruh tanah kosong dan semua rumah tidak berpenghuni. Seharian kami mencari, tapi tidak ketemu. Bu @⁨Kn Lublub⁩ terus meneteskan air mata, meski beliau tidak menangis.

Setelah sholat Maghrib, waktu saya mau makan iwak jelawat bebanam masakan istri saya, tiba-tiba datang Bu Ja’far mengetuk pintu rumah kami. Sambil terbata-bata entah kenapa, dia mengabarkan bahwa Dicky ditemukan. Sedang rebahan di rumah hujan Mbah Warso. Saya segera datang. Saya lihat, badan si Dicky kelihatan lemah. Nafasnya pelan. Mukanya pucat. Matanya cekung. Bibirnya putih seperti sedang menahan rasa sakit. Tatapan matanya sendu. Waduh, sakit apa kamu le?..Bu Lub yang sudah lebih dahulu datang hanya bisa berdiri tertegun. Ia tidak menangis, tapi air matanya terus meleleh. Beberapa tetangga terus menerus menenangkan beliau. Salah satunya pak Dhe Iman, yang berdiri tepat di hadapan @⁨Kn Lublub⁩. Tangan dan mata pak Dhe Iman tampak ragu. Ia seperti ragu, bagaimana menghentikan tangisan Bu Lub yang bahkan tanpa suara, hanya lelehan air mata. Juga ibu-ibu kompleks yang lain. Bu Siska, Bu Ratih, Teh Dewi, juga budhe Mar. Semua hanya bisa memegangi pundak bu @⁨Kn Lublub⁩.

Lalu kami panggil Bu Hapsari. Dokter puskesmas yang tinggal di jalur 1. Ketika Bu Hapsari datang, warga yang melihat kejadian semakin ramai. Hingga pakdhe Paidi harus membubarkan mereka dengan memukul-mukul tiang listrik. Di tengah kerumunan warga, Bu Hapsari memeriksa kondisi Dicky. Lalu berkata, “bawa ke rumah sakit, sekarang juga!”. Saya telpon pak Nursalim. Minta tolong antarkan Dicky ke rumah sakit. Dan meluncurkan mobil Hilux hitam. Saya ikut mendampingi Dicky ke rumah Sakit. Bu Lub dan keluarga menyusul di belakang kami.

Malam itu juga Dicky di-opname di RSUD. Dr. Murjani Sampit. Dibawah perawatan dr. Nina. Saya sendiri tidak tahu, sakit apa si Dicky itu. Hanya saja, ia sampai hampir sebulan dirawat di rumah Sakit. Bahkan kemaren, ia dirujuk ke RS. Dr. Silvanus Palangkaraya. Didaftarkan secara online. Dan baru dikonfirmasi pihak Rumah Sakit rujukan beberapa jam kemudian.

Ihwal dirawatnya Dicky di rumah sakit, kami sudah tidak membahasnya lagi. Setiap habis Maghrib selama 7 hari berturut turut, kami bacakan fatihah untuk kesembuhan Dicky. Kemaren, ada dua warga kami yang berdebat di Musholla. Sakitnya Dicky itu dari Allah atau dari dirinya sendiri? Sambil mengutip beberapa tafsir. Saya yang mendengar perdebatan mereka jadi gemes. Saya jewer hidung keduanya, sambil saya bilangin; “ngilmu itu tidak boleh meninggalkan konteks. Ngilmu itu harus bisa empan papan empan panggonan. Mosok ketika orang sakit malah pada ngomongin apakah sakitnya dari Allah atau dari ia sendiri, ora ilok. Nanti kalian berdua di-dukani Martin Heidegger!. Juga di penthelengi pakdhe Gunawan Muhammad. Uwis, sana, temani mas Pur jaga malam”.

Yang jadi perbincangan hangat selama berhari hari di kompleks kami adalah keanehan Dicky yang tiba tiba hilang sebelum sakit. Dan tiba tiba ditemukan di rumah hujannya Mbah Warso. Segala teori dan analisa sudah dibicarakan.

Tapi, tetap saja tidak bisa ketemu. Saya sendiri sempat menanyakannya kepada Mbah Warso, yang pada saat kejadian hilangnya Dicky malah tidur di atas mimbar Musholla. Tidur sambil berdiri di atas mimbar. Sambil jari telunjuknya menunjuk ke atas. Saya bangunkan beliau dengan membacakan surat al-Kahfi. Beliau baru bangun setelah saya baca ayat yang ke 18. Saya tanyakan kepada beliau apa yang terjadi. Beliau hanya menjawab :”Allahu wa Rasuluhu a’lam”. Lalu beliau tidur lagi. Kali ini dengan mengacungkan jempolnya ke depan. “Asem, sontoloyo”, kata saya. Ditanya kok malah bikin akrobat.

Isya’ tadi, saya ketemu lagi dengan Mbah Warso di Musholla. Saya sudah tidak lagi menanyakan masalah Dicky. Saya hanya lihat Mbah Warso bergumam. “Loro tapi topo, loro tapi seneng, loro tapi cedhak Gusti”. Begitu berulang-ulang. Saya sendiri tidak paham apa maksud “dzikir” beliau.

Setalah pulang dari Musholla, saya langsung tidur. Saya terlalu capek. Seharian ini syuting materi pembelajaran untuk LMS lembaga saya di kompetensi.online. Belum bebebapa lama saya tidur, Mbah Warso ngetuk-ngetuk pintu rumah saya. Setelah pintu saya buka, saya kaget. Mbah Warso datang dengan ditemani Dicky, yang tertawa-tertawa sambil makan Lolly pop di mulutnya. Saya silahkan keduanya masuk.

Saya abaikan mbah Warso. Saya tanyai si Dicky. “Alhamdulillah, kamu kan sakit to lhe, kok malah datang ke sini. Ono OPO?” Sambil saya elus rambutnya.
“Dicky enggak sakit pak Dhe. Dicky sudah sebulan ini ikut Mbah Warso bikin rumah, kata Mbah Warso, rumahnya nanti mau ditinggali mama sama papa. Rumahnya bagus pakdhe, ada ayunannya, prusutannya. Lantainya terbuat dari kaca. Ditunggui beberapa bidadari. Di setiap sudut ruangan ada buah-buahan yang selalu segar.

Di sebelah kiri ada anak sungai yang selalu mengalirkan susu dan anggur. Setiap Dicky buka pintunya, selalu ada yang menyambut Dicky, bilangin sama mama ya, Dicky tidak apa-apa?”. Kata Dicky riang. Saya tanya, “Rumahnya sudah selesai Ki?”. Ia ketawa. Lalu menjawab dengan bahasa yang tidak saya pahami. Saya tertegun. Saya pandangi Mbah Warso. Beliau hanya tertawa. Sambil menghisap rokok lintingan. Saya jadi pingin ikut merokok. Saya masukkan tangan saya ke saku kiri Mbah Warso. Saya ambil sebatang. Saya kaget, waktu mau saya nyalakan, yang keluar dari kantong Mbah Warso bukan rokok lintingan, tapi alat rapid test Corona. “Lho, ini apa Mbah?”. Dalam sekedipan mata Mbah Warso dan Yusuf menghilang. Saya kaget. Keringat dingin membasahi dahi saya. Saya terbangun dan mendapati diri saya tertidur di depan TV. Saya terbatuk-batuk. Nafas saya agak berat. Saya ambil air putih. Saya minum. Saya lap keringat di dahi saya dengan tangan. Kok, badan saya panas ya? Saya terbatuk lagi…

Pangeran Djoko. / Zaid Choirudin.
Sampit, teriring doa untuk kesembuhan ananda Muh. Dicky Candra, anak mbak @⁨Kn Lublub⁩. Sehat Yo le..

Mumtaz Hanif

salam blogger

Tinggalkan Balasan